Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI BITUNG
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2019/PN Bit ANDI RAKINAUNG KEPALA KEPOLISIAN RESORT KOTA BITUNG C.Q PENYELIDIK, PENYIDIK POLRES BITUNG Minutasi
Tanggal Pendaftaran Rabu, 06 Feb. 2019
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2019/PN Bit
Tanggal Surat Rabu, 06 Feb. 2019
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1ANDI RAKINAUNG
Termohon
NoNama
1KEPALA KEPOLISIAN RESORT KOTA BITUNG C.Q PENYELIDIK, PENYIDIK POLRES BITUNG
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

 

Bitung, 01 Februari 2019;

 

Kepada Yang Terhormat :

Ketua Pengadilan Negeri Bitung

di_

Bitung, Sulawesi Utara,

Jl. Samratulangi, No 58, Kota Bitung, Sulawesi Utara, 95511, Indonesia;

 

Perihal : Permohonan Praperadilan atas tidak sahnya penetapan status

               Tersangka a.n Pemohon Andi Rakinaung;

 

 

Dengan hormat, 

Kami yang bertanda-tangan di bawah ini :

 

  • Dence Novian Baeruma, SH;       
  • Yudhistira Adiza Putra, SH;
  • Wensy Wengke, SH;
  • Chanly Milvin Iroth, SH;
  • Hendra Putra Juda Baramuli, SH.,MH;

 

Kesemuanya Berkewarganegaraan Indonesia, Pekerjaan Advokat, Berkantor di Law Office MGD & Partners, Beralamat di Kelurahan Winenet Satu, N0. 30, Lingkungan II, Kecamatan Aertembaga, Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara. Berdasarkan kekuatan Surat Kuasa Khusus (terlampir) yang telah didaftarkan di Kepanitraan Pengadilan Negeri Bitung, bertindak sendiri-sendiri atau bersama-sama untuk dan atas nama :

 

Nama                             : Andi Rakinaung;

Kewarganegaraan          : Indonesia;

Tempat Lahir                 : Sanger;

Tanggal Lahir                 : 15 Desember 1998;

Umur                             : 20 Tahun;

Jenis Kelamin                : Laki-Laki;

Pekerjaan                       : Buruh serabutan;

Alamat                           : Kelurahan Girian Permai, Kecamatan Girian,

  Lingkugan IV, RT 007, RW 004, Kota Bitung, Provinsi

  Sulawesi Utara;

Agama                            : Islam;

Status Kawin                 : Belum menikah;

Pendidikan terakhir       : Tidak tamat sekolah dasar;

 

Selanjutnya mohon disebut sebaga……………………………………..… Pemohon ;

Dengan  ini  mengajukan  Gugatan  Permohonan  Praperadilan  kepada  Termohon :

 

Nama jabatan       : Kepala Kepolisian Resort Kota Bitung C.q Penyelidik,

Penyidik Polres Bitung yang menangani dugaan Perkara    Tindak Pidana in casu;

Alamat                  : Jl. Girian Atas Bitung, Madidir, Kota Bitung, Provinsi

   Sulawesi Utara;

Selanjutnya disebut sebagai…………………………………………….…..Termohon;

 

Adapun yang menjadi dasar dan alasan-alasan permohonan Praperadilan terkait Penetapan tersangka tidak sah adalah sebagai berikut :

  1.  Dasar hukum Permohonan Praperadilan;
  1. Bahwa upaya hukum Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 Kitab Undang-Undang Hukum acara Pidana adalah suatu lembaga yang berfungsi untuk menguji apakah tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik/penuntut umum sudah sesuai dengan Undang-Undang dan tindakan tersebut telah dilengkapi administrasi penyidikan secara cermat atau tidak.
  2. Bahwa idealnya tujuan Praperadilan seperti yang termaksud dalam penjelasan Pasal 80 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) adalah untuk menegakan hukum (kepastian hukum), keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal.
  3. Bahwa Praperadilan sebagai upaya pengawasan penggunaan wewenang guna dan untuk menjamin Perlindungan Hak Asasi Manusia seperti yang dimaksudkan dalam Konsiderans menimbang huruf (a) dan (c) KUHAP dengan sendirinya menjadi Roh KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut :
  1. Bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta yang menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
  1. Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu dibidang hukum acara pidana  adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibanya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing kearah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya Negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar  1945.
  1. Bahwa permohonan yang dapat diajukan dalam pemeriksaan praperadilan, selain daripada persoalan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan maupun ganti rugi dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (Pasal 77 KUHAP), juga meliputi tindakan lain sebagaimana ditentukan secara tegas dalam ketentuan Pasal 95 menyebutkan bahwa :
  1. Tersangka terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karenan kekliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan,
  2. Tuntutan ganti rugi oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan di pengadian negeri, diputus disidang Praperadilan sebagaimana dimaksud Pasal 77.
  1. Bahwa berpijak pada maksud poin 4 (empat) diatas maka Pemohon menjelaskan sebagai berikut :
  1. Tindakan lain dalam hal ini menyangkut pelaksanaan wewenang Penyidik maupun Penuntut Umum diantaranya berupa penggeledahan, penyitaan, maupun menetapkan seseorang menjadi Tersangka
  2. Bahwa dengan ditetapkanya seseorang menjadi Tersangka in casu Pemohon tanpa melalui prosuder hukum yang benar sebagaimana ditentukan oleh KUHAP, maka nama baik dan hak untuk hidup aman Pemohon telah dirampas
  3. Bahwa akibat tindakan cacat hukum dari Termohon yang menggunakan kewenangannya secara keliru telah mengakibatkan kerugian moril dan materiil.
  1. Bahwa tindakan penyidik untuk menentukan seseorang menjadi tersangka merupakan salah satu proses dari sistem penegkan hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, oleh karenanya proses tersebut haruslah diikuti  dengan prosedur yang benar seperti yang ditentukan dalam KUHAP atau Perundang-Undangan yang berlaku. Apabila proses tersebut tidak berjalan dengan baik dan benar maka sudah barang tentu proses tersebut menjadi cacat dan harus dibatalkan.
  2. Bahwa adapun penemuan hukum yang bisa menjadi acuan dikabulkanya Permohonan Praperadilan ini antara lain :
  1. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam Perkara Praperadilan Nomor 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel. Telah menerima dan mengabulkan permohonan Praperadilan dengan menyatakan antara lain tidak sah menurut hukum tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka.
  2. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014
  3. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam Perkara Praperadilan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.
  1. Bahwa Negara Republik Indonesia menjamin setiap warga negaranya untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum, dasar hukum yang mendukung Permohonan Praperadilan Pemohon antara lain :
  1. Pasal 28 D ayat (1) UUD Negara RI 1945, Bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum;
  2. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014, MK telah memberi penafsiran konstitusional terhadap bukti permulaan yang cukup yang harus dimaknai dengan 2 alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP ketika menetapkan seseorang sebagai tersangka. Selain itu, MK telah memperluas objek praperadilan yang diatur dalam Pasal 77 huruf a KUHAP termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
  3. Pasal 17 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Setiap orang tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan dan gugatan baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta di adili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar;
  4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, tentang Hak-Hak Sipil dan Politik
  1. Alasan Permohonan Praperadilan;
  1. Fakta-Fakta;
  1. Bahwa Pemohon adalah warga Negara Republik Indonesia yang dijamin kehidupanya dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
  • Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 :

    Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

 

  1. Bahwa Pemohon dan keluarga kecilnya tergolong masyarakat yang kurang mampu, kehidupan mereka hanya bergantung pada penghasilan buruh serabutan;
  2. Bahwa begitupun kedudukan Pemohon dalam bermasyarakat, kehidupan mereka sering disepelekan dalam pergaulan sosialnya, sebab kita ketahui bersama fenomena social dalam bermasyarakat simiskin yang lemah selalu tertindas oleh yang kaya dan punya fasilitas;
  3. Bahwa berbanding terbalik dengan kedudukan Termohon yang hidup berkecukupan lewat gaji sebagai anggota Kepolisian Polres Bitung, hidup berkecukupan, punya kekuasaan dan atau wewenang, dihormati masyarakat dan yang pasti punya senjata. Pertanyaan batin Kami, siapa yang bisa mengkriminalisasi jika dalam posisi demikian ?

 

Hakim yang Kami hormati;

 

  1. Bahwa pada bulan Januari tanggal 03 Tahun 2019 sekitar pukul 07.30 Wita Pemohon ditangkap oleh  3 (tiga) orang oknum anggota kepolisian Polres Bitung di alamat rumah Pemohon yakni Kelurahan Girian Permai, Kecamatan Girian, Lingkugan IV, RT 007, RW 004, Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara;
  2. Bahwa pada saat itu tiga oknum polisi Polres Bitung yang berpakaian biasa masuk kerumah Pemohon dan menanyakan keberadaan Pemohon kepada saksi perempuan a.n Novi, demikian pertanyaan salah satu anggota kepolisian dimaksud, ada dimana Andi?, langsung dijawab oleh saksi a.n Novi ngoni sapa, ada apa, dia baru kaluar pigi pa depe kaka pe rumah disabalah (kalian siapa, ada apa, Pemohon baru beranjak dari rumah menuju ke rumah kakanya, rumahnya terletak disamping rumah Pemohon) dan dijawab oleh salah satu anggota kepolisian tersebut jangan banyak tanya ngana, capat pangge kamari pa dia (anda jangan banyak bertanya, cepat panggil Pemohon);
  3. Bahwa kemudian saksi a.n Novi segera memanggil Pemohon, Kata saksi a.n Novi kepada Pemohon “ Novi ada 3 orang cari pa ngana di rumah (Novi, ada tiga orang  yang mau ketemu di rumah). Pemohonpun segera kembali ke rumahnya, diikuti oleh saksi Februari Rakinaung, dan saksi Robiana Sunge;
  4. Bahwa sesampainya Pemohon dirumahnya, tanpa banyak bicara seorang anggota Kepolisian Polres Bitung langsung menahan tangan Pemohon dan menyeret Pemohon masuk kedalam kendaraan roda empat dikawal oleh dua orang teman polisinya;
  5. Bahwa sesaat setelah Pemohon dibawah paksa oleh tiga orang oknum Kepolisian Polres Bitung, sekitar pukul delapan pagi saksi a.n Robiana segera memberitahukan kejadian tersebut kepada ayah dan ibu Pemohon lewat telepon genggam, saat itu posisi Ayah dan Ibu Pemohon sedang berada di laut mencari ikan.
  6. Bahwa sekitar pukul setengah sembilan pagi ayah dan ibu Pemohon sampai di rumah Pemohon, sesampainya di rumah ayahnya bertanya ada masalah apa, tapi hanya dijawab dengan tangisan oleh saksi a.n Novi, Ayah Pemohon kembali bertanya dengan nada tinggi, ada apa ? kemudian dijawab oleh novi bahwa Pemohon ditangkap oleh tiga orang misterius dan dinaikan kedalam kendaraan roda empat;
  7. Bahwa pada saat itu seluruh keluarga Pemohon tidak tahu siapa yang menangkap dan ada masalah apa Pemohon, semua keluarga Pemohonpun diliputi rasa cemas dan kebingungan;
  8. Bahwa pada pukul 11 (sebelas) malam baru diketahui posisi Pemohon dari adik ayah Pemohon a.n Sain Mangendege. Kata saksi a.n Sain Mangendege kepada Ayah Pemohon lewat telpon genggam, bahwa Pemohon berada dalam tahanan Polres Bitung dan dalam keadaan luka tembak. Fakta tersebut diketahui saksi a.n Sain lewat berita di media online facebook dalam akun berita Kota Bitung;
  9. Bahwa mendengar kabar tersebut keluarga Pemohon berencana untuk menjenguk Pemohon, tetapi disaat keluarganya sementara dalam persiapan untuk membesuk Pemohon, tiba-tiba tanpa rasa hormat beberapa anggota Kepolisian Polres Bitung langsung masuk ke rumah Pemohon dan menjemput paksa saksi a.n Novi, saksi Februari Rakinaung, saksi Robiana Sunge serta Ayah dan Ibu Pemohon;
  10. Bahwa sekitar pukul 12 malam orang-tua Pemohon dan saksi-saksi tersebut langsung dibawah ke Kantor Polres Bitung. Sesampainya di Kantor Polres Bitung kesemuanya di perintahkan berdiri untuk difoto dan dinterogasi;
  11. Bahwa keesokan hari tepatnya pada bulan Januari tanggal 04 Tahun 2019 sekitar Pukul 4 (empat) sore saksi-saksi dan Orang tua Pemohon baru diperintahkan untuk pulang;

 

  1. Tentang Hukumnya;

 

B.1. Keputusan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka adalah  

        tidak sah karena tidak didasarkan pada maksud Konstitusi Republik

        Indonesia dan aturan yang diperintahkan KUHAP (Kitab Undang- 

   Undang Hukum Acara Pidana),  yakni :

 

  1. Bahwa dalam proses Penyelidikan guna untuk menemukan unsur-unsur pidana tidak terbukti ! Pertanyaannya apakah kita harus masuk pada wilayah Penyidikan guna menemukan Permulaan bukti yang cukup? Secara terang benderang Penyelidik dan Penyidik Polres Bitung hanya bersandar pada laporan kepolisian dengan didukung oleh barang bukti fiktif (bukan alat bukti). Hemat Pemohon, tindakan menangkap, menahan dan menembak dari pihak Oknum Kepolisian Polres Bitung adalah merupakan bentuk diskresi yang keliru dan tidak terpuji dan tegas menyalahi hukum acara pidana;
  2. Tindakan kesewenang-wenangan dari pihak Polres Bitung jelas dan tegas bertentangan dengan maksud Konstitusi dan aturan Perundang-Undangan, antara lain :
  • Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 :

    Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

  • Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1) KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) terkait proses penetapan tersangka atas dasar bukti permulaan yang cukup
  • Pasal 1 angka 11 jo Pasal 14 ayat (1) Perkap 12/2009, prosedur penyelesaian perkara termasuk penyidikan dan penetapan tersangka, harus dilakukan secara profesional, proporsional dan transparan agar tidak ada penyalahgunaan wewenang dan lebih jauh tidak semata-mata bertendensi menjadikan seseorang menjadi tersangka.
  • Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap 12/2009) disebutkan bahwa :

 

  1. Status sebagai tersangka hanya dapat ditetapkan oleh penyidik kepada    seseorang setelah hasil penyidikan yang dilaksanakan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti.
  2. Untuk menentukan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan melalui gelar perkara.

 

  • Pasal 3 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri (PP 2/2003) jo Pasal 10 huruf a Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Republik Indonesia (Perkap KEPP).

 

B.2. Penetapan status Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon

       Merupakan penyalahgunaan wewenang (kewenangan yang keliru);

 

  1. Bahwa idealnya kewenangan dari Termohon wajib bersandar pada perintah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang secara eksplisit mengharuskan proses pemanggilan, proses penyelidikan, penyidikan dan penahanan yang kesemuanya itu harus diikuti dengan penerbitan surat-surat pemanggilan dan pemberitahuan yang sah. Dalam penanganan dugaan tindak pidana in casu semuanya tidak dilakukan oleh Termohon;

 

B.3. Penetapan status Tersangka dan Penembakan kepada Pemohon

       Merupakan bentuk  kejahatan.

 

  1. Bahwa tidak ada alasan hukum yang bisa membenarkan tindakan Penyelidik dan Penyidik dugaan Perkara Tindak Pidana in casu, kalau Kepolisian berkilah dengan mengatakan ini adalah merupakan perintah jabatan, pertanyaan kami apakah dalam jabatan anda disuruh melakukan tindakan penangkapan, penahanan dan penembakan jika tidak ada tindak pidana yang tersangka lakukan ?
  2. Bahwa tindakan inprosuderal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, karena permasalahan ini menyangkut hak-hak asasi seseorang yang hanya Tuhan bisa mencabutnya! Ironisnya, Jika semua penegak hukum masa bodoh dan tidak bertindak maka situasi ini bisa berdampak buruk dan sistemik dalam dunia penegakan hukum khususnya di Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara.

 

 

DASAR HUKUM PENGGUNAAN SENPI (Senjata Api) :

 

Peraturan yang mengatur mengenai penggunaan senjata api oleh polisi antara lain diatur dalam Perkapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 8/2009”), serta di dalam Perkapolri No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian (“Perkapolri 1/2009”).

 

  • Berdasarkan Pasal 47 Perkapolri 8/2009 disebutkan bahwa:

 

  1. Penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar diperuntukkan

Untuk melindungi nyawa manusia.

  1. Senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan untuk:
  1. Dalam hal menghadapi keadaan luar biasa.
  2. Membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat.
  3. Membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat.
  4. Mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang.
  5. Menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa; dan
  6. Menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.

 

  • Penggunaan senjata api oleh polisi dilakukan apabila (Pasal 8 ayat [1] Perkapolri 1/2009):

 

  1. Tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat.
  2. Anggota Polri tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut.
  3. Anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat.

 

Pada prinsipnya, penggunaan senjata api merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka (Pasal 8 ayat [2] Perkapolri 1/2009).

 

Jadi, penggunaan senjata api oleh polisi hanya digunakan saat keadaan adanya ancaman terhadap jiwa manusia. Sebelum menggunakan senjata api, polisi harus memberikan peringatan yang jelas dengan cara (Pasal 48 huruf b Perkapolri 8/2009):

 

  1. Menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota Polri yang sedang bertugas;
  2. Memberi peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran untuk berhenti, angkat tangan, atau meletakkan senjatanya; dan
  3. Memberi waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi;

 

Sebelum melepaskan tembakan, polisi juga harus memberikan tembakan peringatan ke udara atau ke tanah dengan kehati-hatian tinggi dengan tujuan untuk menurunkan moril pelaku serta memberi peringatan sebelum tembakan diarahkan kepada pelaku (Pasal 15 Perkapolri 1/2009).

Pengecualiannya yaitu dalam keadaan yang sangat mendesak di mana penundaan waktu diperkirakan dapat mengakibatkan kematian atau luka berat bagi petugas atau orang lain di sekitarnya, peringatan tidak perlu dilakukan (Pasal 48 huruf c Perkapolri 8/2009). Bagaimana pertanggungjawaban polisi terhadap penggunaan senjata api? Jika ada pihak yang dirugikan atau keberatan karena penggunaan senjata api, petugas polisi yang bersangkutan wajib membuat penjelasan secara terperinci tentang alasan penggunaan senjata api, tindakan yang dilakukan dan akibat tindakan yang telah dilakukan (Pasal 49 ayat [2] huruf a Perkapolri 8/2009). Selain itu, setelah menggunakan senjata api, polisi harus membuat laporan terperinci mengenai evaluasi pemakaian senjata api. Laporan tersebut berisi antara lain (Pasal 14 ayat [2] Perkapolri 1/2009) :

  1. Tanggal dan tempat kejadian;
  2. Uraian singkat peristiwa tindakan pelaku kejahatan atau tersangka, sehingga memerlukan tindakan kepolisian;
  3. Alasan / pertimbangan penggunaan kekuatan;
  4. Rincian kekuatan yang digunakan;
  5. Evaluasi hasil penggunaan kekuatan;
  6. Akibat dan permasalahan yang ditimbulkan oleh penggunaan kekuatan tersebut.

 

Laporan inilah yang akan digunakan untuk bahan pertanggungjawaban hukum penerapan penggunaan kekuatan, serta sebagai bahan pembelaan hukum dalam hal terjadi gugatan pidana/perdata terkait penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh anggota Polri yang bersangkutan (Pasal 14 ayat [5] huruf e dan f Perkapolri 1/2009). Pada prinsipnya, setiap individu anggota Polri wajib bertanggung jawab atas pelaksanaan penggunaan kekuatan (senjata api) dalam tindakan kepolisian yang dilakukannya (Pasal 13 ayat [1] Perkapolri 1/2009).

 

B.4. Penetapan status Tersangka oleh Termohon kepada Para Pemohon

   Murni Kriminalisasi;

 

  1. Bahwa berdasarakan argumentasi hukum tersebut diatas tidak ditemukan adanya unsur-unsur pidana dan bukti permulaan yang cukup dalam proses penyelidikan juga penyidikan dugaan Tindak Pidana in casu, maka oleh karena itu ketika tidak ada tindak pidana dan bukti yang cukup, terasa layak jika Pemohon menyebut bahwa tindakan Termohon merupakan bentuk Kriminalisasi.
  2. Bahwa akibat tindakan kriminalisasi tersebut, Pemohon berencana akan mengangkat masalah in casu ke dunia media cetak nasional;

 

Bahwa setelah menelaah dengan seksama, berdasarkan Konstitusi dan maksud KUHAP maka kelihatan dengan jelas Penetapan tersangka cacat hukum formil.

Maka  berdasarkan uraian permohonan tersebut di atas, demi kepastian hukum yang berkeadilan maka Pemohon meminta sekiranya, Pengadilan Negeri Bitung pada tingkat pelaksanaan Praperadilan sudi menyatakan putusan :

  1. Menyatakan menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya
  2. Menyatakan tidak ditemukan unsur-unsur pidana dan bukti permulaan yang cukup yang bisa menjerat Pemohon sebagai Tersangka, oleh karenanya Penetapan tersangka kepada Pemohon adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat;
  3. Menyatakan bahwa Termohon telah melakukan penyalahgunaan wewenang;
  4. Menyatakan bahwa Termohon telah melakukan Kejahatan Psikis dan Fisik;
  5. Memerintahkan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia Cq Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Utara untuk segera menindak tegas setiap anggota kepolisian yang melakukan tindak Pidana ataupun pelanggaran dalam menyelidiki serta menyidik Perkara dugaan tindak pidana in casu;
  6. Memerintahkan kepada Kompolnas Republik Indonesia untuk segera melakukan langkah hukum terhadap Penyelidik, Penyidik dan oknum-oknum Kepolisian yang dengan sengaja ataupun lalai dalam penanganan perkara tindak pidana in casu;
  7. Memerintahkan kepada Termohon untuk segera mengembalikan nama baik Termohon, lewat pemberitaan 3 (tiga) media massa online dan 3 (tiga) media cetak satu minggu berturut-turut;
  8. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara praperadilan ini. Atau, apabila Hakim berpendapat lain mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono);

 

Hormat Kami

 

 

Dence Novian Baeruma, SH

 

 

Wensy Wengke, SH

 

 

Yudhistira Adiza Putra, SH

 

 

Chanly Milvin Iroth, SH

 

 

 

 

Hendra Putra Juda Baramuli, SH. MH

Pihak Dipublikasikan Ya